Pak Prabowo, Apakah Statistik Itu Bikin Kenyang?
Sabtu, 17 Mei 2025 18:49 WIB
Ketika 223 anak keracunan MBG, pemerintah justru bersembunyi di balik statistik. Nyawa manusia direduksi jadi angka keberhasilan.
***
Ada lelucon tragis yang sedang beredar di negeri ini. Sebuah program bernama Makan Bergizi Gratis (MBG), yang seharusnya menjadi berkah bagi ribuan siswa, di Kota Bogor justru berubah menjadi mimpi buruk. Sebanyak 223 anak dari SD hingga SMA tumbang dengan gejala keracunan: mual, muntah, diare, hingga demam.
Namun, lebih menyesakkan dari sekadar angka korban adalah bagaimana pemerintah meresponsnya. Presiden Prabowo Subianto, alih-alih menunjukkan empati atau menawarkan solusi konkret, dalam sebuah potongan pidatonya, justru tampil dengan statistik nyeleneh. Katanya, dari tiga juta penerima manfaat, hanya 0,005 persen yang keracunan. "Keberhasilannya adalah 99,99 persen," ujarnya, seolah-olah anak-anak yang terbaring lemah itu hanyalah bagian kecil dari kalkulasi keberhasilan. Apa ini? Sebuah tragedi yang direduksi menjadi persentase?
Ketika angka-angka dijadikan tameng, kemanusiaan tersingkir ke sudut gelap. Di hadapan publik, pemerintah bersembunyi di balik statistik, memainkan kalkulasi untuk menutupi luka nyata. Namun, bagi orang tua yang anaknya terbaring lemah di rumah sakit, angka 0,005 persen tidak berarti apa-apa. Mereka tidak melihat keberhasilan 99,99 persen, mereka melihat tubuh lemah anak-anak mereka, tangis, dan ketakutan.
Tragedi MBG bukan sekadar kasus keracunan massal. Ini adalah cermin dari bagaimana negara memandang rakyatnya sebagai sekumpulan data, deretan angka, tanpa wajah, tanpa nama. Ketika sebuah program sosial dijalankan dengan klaim kesejahteraan, namun di dalamnya tersembunyi potensi bahaya yang mengintai, maka kita sedang menyaksikan bagaimana ambisi politik mengalahkan akal sehat.
Pernyataan Presiden Prabowo yang mengandalkan statistik keberhasilan adalah manifestasi dari obsesi pemerintah terhadap narasi angka. Ini bukan fenomena baru. Kita hidup dalam era politik populis, di mana keberhasilan diukur dengan jumlah penerima manfaat, bukan dengan kualitas manfaat itu sendiri. Semakin banyak angka yang bisa ditampilkan dalam laporan, semakin mudah pemerintah mengklaim kesuksesan. Namun siapa yang peduli dengan kualitas jika kuantitas sudah bisa dijual sebagai keberhasilan?
223 siswa yang keracunan dan mungkin lebih jika dihitung dengan wilayah lainya di Indonesia bukanlah bagian dari persentase belaka. Mereka adalah manusia yang menderita karena kelalaian sistem. Makanan yang seharusnya menyehatkan justru berubah menjadi ancaman. Dan yang lebih ironis, ini terjadi dalam sebuah program yang diberi nama "Makan Bergizi Gratis." Apakah ada ironi yang lebih menyakitkan dari itu?
Tetapi tragedi ini bukan hanya soal bakteri Salmonella dan E. coli yang terdeteksi dalam makanan. Ini soal bagaimana negara menjalankan kebijakan publik dengan standar yang longgar, dengan pengawasan yang lemah. Sistem distribusi pangan yang tidak terjamin kebersihannya, prosedur pengolahan makanan yang minim pengawasan, dan pengejaran angka penerima manfaat tanpa memastikan keamanan. Ketika semua ini berpadu, hasilnya adalah bencana yang tak terelakkan.
Lebih jauh, respons pemerintah yang cenderung defensif dengan memainkan angka keberhasilan adalah upaya untuk mempertahankan citra. Sebuah trik lama dalam politik: jika tidak bisa mengatasi masalah, buatlah masalah itu terlihat kecil. Dengan statistik, sebuah tragedi bisa diperkecil menjadi ketidaksempurnaan kecil dalam program besar yang "sukses."
Tapi masyarakat tidak lagi bodoh. Di media sosial, kritik mengalir deras. Warganet menuntut agar program MBG dievaluasi besar-besaran. Mereka tidak ingin anak-anak mereka menjadi bagian dari 0,005 persen yang dikorbankan demi klaim keberhasilan. Mereka tahu bahwa tidak ada keberhasilan jika ada satu pun nyawa yang terancam.
Jika kita menelusuri lebih dalam, kasus ini sebenarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari pola besar bagaimana pemerintah sering kali mengorbankan kualitas demi kuantitas. Program-program sosial sering kali dijalankan dengan semangat populisme: menjangkau sebanyak mungkin penerima manfaat untuk membangun citra keberhasilan. Tapi di balik angka-angka besar itu, ada kualitas yang diabaikan, ada keamanan yang dikorbankan.
Dalam konteks sejarah, ini adalah pengulangan dari logika pembangunan yang menekankan "pertumbuhan" tanpa memperhatikan kesejahteraan. Angka pertumbuhan ekonomi bisa naik, tetapi rakyat tetap miskin. Infrastruktur dibangun di mana-mana, tetapi layanan kesehatan tetap buruk. Dan kini, program makan bergizi diluncurkan dengan gempita, tetapi anak-anak yang memakannya justru jatuh sakit.
Pemerintah boleh saja mengklaim keberhasilan dengan angka, tetapi publik sudah tidak bisa lagi dibodohi dengan statistik semu. Mereka tidak akan tenang dengan persentase keberhasilan ketika anak-anak mereka harus dirawat akibat keracunan. Ini bukan soal hitungan matematika, ini soal nyawa, soal rasa aman, soal kepercayaan yang dikhianati.
Jika pemerintah benar-benar peduli, seharusnya bukan statistik yang dijadikan tameng, melainkan transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus mengakui bahwa ada yang salah dalam program MBG, melakukan evaluasi menyeluruh, memastikan standar keamanan pangan ditegakkan, dan yang terpenting, meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka.
Tetapi apakah pemerintah akan melakukannya? Ataukah mereka akan terus bersembunyi di balik angka-angka? Selama logika kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas, selama itu pula kita akan terus menyaksikan program-program semu yang gemerlap di permukaan, tetapi membahayakan di dalamnya.
Tragedi MBG di Kota Bogor ini adalah pengingat pahit bahwa keberhasilan bukanlah tentang angka, tetapi tentang manusia. Jika pemerintah gagal memahami ini, maka program-program sosial tidak lebih dari sekadar alat propaganda, dan rakyat hanyalah angka-angka tanpa wajah, yang bisa dikorbankan kapan saja demi narasi sukses yang kosong.

Penulis
3 Pengikut

Selamat Hari Jadi Bogor, Boleh Kami Kritik Sebentar?
Selasa, 3 Juni 2025 13:34 WIB
Pak Prabowo, Apakah Statistik Itu Bikin Kenyang?
Sabtu, 17 Mei 2025 18:49 WIBArtikel Terpopuler